Diah A. Pratiwi
Kemarau di Dusun Tua
I/
Sepuluh hari setelah purnama,
cawanku kosong, tidak ada satupun yang datang atau kembali.
cangkir yang berukirkan risalah, tak terjamah tak ada makna
cawanku kosong, tidak ada satupun yang datang atau kembali.
cangkir yang berukirkan risalah, tak terjamah tak ada makna
Tak lebih dari penghias almari-almari
tua.
Dua puluh hari setelah purnama,
tetes anggur begitu tajam, menusuk, menikam cawan
tetes anggur begitu tajam, menusuk, menikam cawan
Melebur, merasuk ke dinding perdu, terpecah
krakk!! Menjadi serpihan-serpihan rindu.
krakk!! Menjadi serpihan-serpihan rindu.
Ii/
Tujuh puluh hari setelah purnama,
Tanganku masih dingin tanpa genggaman
Rambutku masih berantakan tanpa belaian
Tubuhku masih kaku tanpa erat dekapan
Lantas musim bukan kemarau
Pohon-pohon mati karena urat yang
kupahat
Kulukis, kuukir namamu didalamnya
Di serat daun, di tipis angin yang
berhembus lama-lama hilang.
Iii/
/sekian-/sekian setelah purnama..
daun jatuh tak lagi gugur, dingin yang menusuk bukan lagi salju
daun jatuh tak lagi gugur, dingin yang menusuk bukan lagi salju
Rindu menyerbak kesetiap ruang di setiap
waktu
Masa-masa yang lampau entah pergi kemana
entah tersesat dimana.
_Dan
kemarau tiba di dusun kita,
Bunga-bunga layu, tanaman mati dihantam
kekeringan
Dihantam surutnya air dari muara asmara
Dari ladang yang ditinggal petaninya.
Iv/
purnama tak perlu datang lagi,
cangkirku usang tergeletak didalam lemari
cangkirku usang tergeletak didalam lemari
tak terjamah tak terdedah, tercampakan
begitu saja
Cangkir
usangku hilang dari almari, di cari jejaka dari berbagai sudut negri.
Cianjur, 02 Sep. 11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar